Jika saya jadi pimpinan, saya tak ingin hanya jadi nama di papan pintu. Saya ingin menjadi percikan api, yang menyalakan lentera di hati banyak orang.

Karena bagi saya, seorang pimpinan bukanlah raja di singgasana, melainkan nakhoda di tengah badai.

Bayangkan ruang kerja. Bukan dinding-dinding kaku yang memisahkan, tapi ruang di mana ide-ide bisa melompat bebas seperti anak-anak bermain di taman. Tempat di mana kopi pahit menjadi saksi cerita-cerita besar. Di sana, saya akan menjadi pendengar. Telinga saya akan selalu terbuka untuk suara-suara kecil, bahkan ketika mereka berbisik di sudut.

Jika saya jadi pimpinan, setiap rapat bukanlah ritual kosong. Itu adalah panggung. Tempat setiap orang bisa menjadi aktor utama dalam cerita mereka sendiri. Saya ingin mereka pulang dengan kepala tegak, bukan pundak yang menunduk.

Saya ingin keputusan yang saya buat menjadi akar pohon besar. Kokoh, tapi juga memberi tempat bagi burung-burung untuk bernyanyi. Saya tahu, keputusan besar sering terasa seperti membawa batu di punggung. Tapi jika saya adalah pimpinan, saya ingin bebannya terasa ringan, karena saya akan membaginya dengan mereka yang percaya pada saya.

Saat ada masalah, saya tidak akan mencari kambing hitam. Saya akan jadi kaca, memantulkan kejujuran. Saya akan menjadi cermin yang tak retak, tempat setiap orang bisa melihat kebenaran, meski kadang menyakitkan.

Jika saya pimpinan, kegagalan bukan akhir cerita. Itu hanya jeda, seperti koma dalam sebuah kalimat panjang. Saya ingin tim saya tahu bahwa jatuh bukanlah malu, selama kita bangkit dengan semangat yang lebih kuat.

Dan jika saya jadi pimpinan, saya akan merayakan hal kecil. Ulang tahun staf, ide sederhana yang membuat segalanya lebih mudah, atau bahkan keberanian untuk berkata, “Saya butuh bantuan.” Karena hidup, pada akhirnya, adalah tentang menghargai detail-detail kecil.

Bagi saya, menjadi pimpinan adalah seperti menjadi lilin di malam gelap. Bukan untuk membakar, tapi untuk menerangi. Tidak peduli seberapa kecil nyala api itu, selama ia mampu memberikan cahaya bagi mereka yang tersesat.

Jika saya jadi pimpinan, saya ingin meninggalkan jejak. Bukan sekadar tinta di atas kertas, tetapi kenangan di hati mereka yang pernah berjalan bersama saya. Jejak yang akan dikenang, bukan karena saya hebat, tetapi karena kita pernah menjadi tim yang luar biasa.

Dan ketika waktunya tiba untuk pergi, saya ingin mereka tersenyum. Bukan karena saya pergi, tapi karena mereka tahu, apa yang kita bangun bersama akan terus berdiri, meski saya tak lagi di sana. (*)