Desember menutup pintu dengan suara gemuruh hujan. Januari mengintip dengan langkah ragu. Tak terasa. Sisa lima hari lagi.
Di antara mereka, jalanan adalah saksi bisu. Aspal yang dulu mulus, kini penuh luka. Lubang-lubang menganga seperti mulut yang meminta perhatian. Tapi siapa yang mendengar?
Bagi pengendara, ini adalah petualangan tanpa akhir. Roda berdecit, suspensi menjerit, dan hati was-was setiap kali melintas.
Seperti bermain lotre, entah kapan nasib sial mengintai: ban pecah, velg peyang, atau lebih buruk, tubuh yang terjatuh. Di sini, jalan bukan hanya alat, tapi teka-teki.
Pak Iping, pengemudi ojek online, menyebutnya “ujian kesabaran.” Setiap hari ia berperang, bukan melawan waktu, tapi melawan lubang.
“Kalau hujan, lubang-lubang itu seperti jebakan. Air menutupinya. Kita hanya bisa menerka, seberapa dalam. Kadang-kadang motor saya seperti kapal yang oleng di tengah badai,” katanya, sambil tertawa getir.
Jalan rusak adalah ironi di awal tahun. Kalender baru, semangat baru, tapi rute lama tetap sama: penuh tantangan. Beberapa warga bahkan bergurau, “Lebih baik bikin wisata ekstrem saja di sini.”
Humor sarkastik menjadi pelarian, sementara keluhan mengalir seperti air hujan yang memenuhi got-got mampet.
Di pojok lain kota, seorang ibu muda bernama Rina punya cerita berbeda.
“Anak saya pernah jatuh dari sepeda karena menghantam lubang. Kakinya luka parah, dan sejak itu dia takut keluar rumah. Jalan yang seharusnya menghubungkan, malah merenggut kepercayaan dirinya,” ujarnya, mata berkaca-kaca.
Pemerintah? Mereka punya jawaban klasik. “Sudah dianggarkan.” “Dalam proses tender.” “Akan diperbaiki segera.”
Kata-kata itu seperti lagu lama yang terus diulang, tapi jalan tetap berlubang. Rakyat hanya bisa menunggu, seperti menunggu hujan reda di musim penghujan.
Namun, jalan rusak bukan sekadar masalah infrastruktur. Ia adalah cermin. Cermin tentang prioritas, tentang janji-janji yang menguap seperti embun pagi.
Di atas aspal yang retak, terhampar cerita tentang kepemimpinan, tanggung jawab, dan harapan yang sering kali kandas.
Tahun baru, jalan rusak. Sebuah paradoks yang menampar logika. Sementara kembang api menyala di langit, di bawah sana, roda terus melintasi jalan yang sama. Retak. Berlubang. Tak tersentuh.
Mungkin, seperti jalan itu, kita semua butuh perbaikan. Tidak hanya di permukaan, tapi hingga ke fondasi.(*)
Tinggalkan Balasan