Sidrap, Pikiran.id — Ikan sapu-sapu, yang selama ini dicap sebagai hama perusak ekosistem Danau Sidenreng (Sidrap), Sulawesi Selatan, kini naik kasta.
Bukan karena berubah rupa, tapi karena satu hal: temuan ilmiah.

Seekor spesies invasif yang biasanya dibuang atau bahkan dianggap sampah perairan, ternyata diam-diam menyimpan potensi sebagai penyelamat gizi dan ekonomi lokal.

Dan, semua itu dimulai dari tangan dingin seorang peneliti perempuan asal Sidrap, Ibu Hasrianti, S.Pi., M.Si.

Lewat riset mendalam yang diterbitkan di jurnal internasional Biodiversitas, Hasrianti dan tim dari Program Studi Ilmu Perikanan Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang (UMS Rappang) membongkar fakta mengejutkan: daging ikan sapu-sapu mengandung protein hingga 14,52% untuk ukuran besar, dan 14,58% untuk yang kecil.

Ini bukan angka sembarangan. Dalam dunia pangan, angka ini sudah cukup untuk membuat ikan ini layak duduk sejajar dengan ikan konsumsi lain seperti lele atau nila.

Dan lebih penting lagi, kandungan lemak dan karbohidratnya rendah—cocok untuk gaya hidup protein-based diet yang sedang naik daun.

Tak berhenti di sana. Uji laboratorium juga mengonfirmasi bahwa kadar logam berat dalam daging dan sisik ikan sapu-sapu masih aman, bahkan sesuai dengan standar nasional SNI 2729:2013.

Artinya? Ikan ini tak cuma layak dimakan, tapi juga layak dikembangkan secara komersial. Dari kerupuk sampai otak-otak, dari bakso sampai abon. Ragam olahan bisa lahir dari satu jenis ikan yang dulu hanya dipandang sebelah mata.

“Pemanfaatan ikan sapu-sapu sebagai sumber protein sangat layak dan memiliki nilai ekonomi,” kata Hasrianti, santai tapi mantap.

Penelitiannya bukan sekadar eksperimen lab, tapi juga ajakan untuk mengubah cara pandang. Dari hama jadi harapan. Dari masalah jadi peluang.

Apa yang dilakukan Hasrianti dan timnya bisa dibilang sebagai pendekatan eco-innovation. Mengubah spesies invasif menjadi bio-resource baru.

Bukan cuma soal ketahanan pangan, tapi juga upaya menyeimbangkan ekosistem Danau Sidenreng yang selama ini terganggu oleh ledakan populasi ikan sapu-sapu.

Pendek kata, ini solusi dua arah: lingkungan dan ekonomi. Double impact.

Kini bola ada di tangan pemerintah daerah dan para pelaku UMKM. Temuan ini bisa jadi pintu masuk lahirnya industri pengolahan ikan sapu-sapu yang berbasis lokal tapi berstandar global.

Dan mungkin, di masa depan, Sidrap akan dikenal bukan cuma karena berasnya, tapi juga karena bakso sapu-sapu yang kaya protein dan bikin nagih.(*)